Agar Tak Ada Interpretasi Beragam, Pembatasan Fisik Perlu Standar Operasi
Jakarta -
Suasana genting melanda berbagai negara di dunia sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengeluarkan imbauan pembatasan sosial yang belakangan istilahnya diubah jadi menjaga jarak fisik (physical distancing).
Namun rupanya imbauan tersebut tak sepenuhnya dipatuhi. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan masih banyak ditemukan warga asyik meriung. Beberapa aktivitas keagamaan berskala besar juga tetap digelar di sejumlah daerah.
Bahkan ada pemimpin tempat pun mencoba 'mencuri-curi' kesempatan dengan tetap berkeras mengadakan resepsi pernikahan untuk putrinya dengan tamu permintaan disebut sampai puluhan ribu orang. Untung saja sang pejabat balasannya bersedia membatalkan pesta megah itu.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono memberikan fenomena ini pertanda ada penafsiran berbeda dari masing-masing orang istilah pembatasan sosial atau menjaga jarak fisik ini. "Setiap orang dapat saja menginterpretasikan social atau physical distancing beda-beda," ujar Pandu.
Menurut Pandu yang perlu dilakukan pemerintah dan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 harus menyusun standar operasi dari kebijakan jaga jarak fisik itu. Standar operasional ini yang lalu harus dijelaskan secara detail pada masyarakat.
"Kaprikornus bagaimana dilakukan? Siapa yang melaksanakan? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana jika tak dilakukan? Ini operasional. Ya jadinya ibarat mirip operasi militer," kata doktor epidemiologi dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat itu.
Standar operasi ini dibutuhkan agar kebijakan pemerintah soal menjaga jarak fisik atau physical distancing tersebut benar-benar dapat berjalan dan dimaknai seragam. Tak hanya sekedar retorika.
"Sekarang yang terjadi kan hanya gres pada tahap retorika," kata Pandu.
Sebagai teladan pemerintah mampu menyusun operasional siapa saja yang mampu keluar rumah. Pandu menyebut kebijakan ganjil genap kendaraan mampu diterapkan pada manusia dalam upaya meredam kecepatan penyebaran virus Corona.
"Yang punya Nomor Induk Kependudukan ganjil mampu keluar rumah tanggal ganjil dan sebaliknya. Ini mampu mengurangi populasi di luar rumah hingga separuh. Atau seni manajemen-seni manajemen lain yang mampu dipikirkan bersama sekaligus mengedukasi masyarakat," katanya.
Jika kebijakan ini juga tak mampu dipatuhi barulah dipikirkan untuk sebuah pembatasan fisik yang sifatnya memaksa. "Kalau tidak dilakukan ada penalti. Nah ini gres perlu ada regulasi. Sifatnya mirip lockdown," kata pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.
"Tidak usah ngomong pakai istilah lockdown, tapi kita melaksanakan hal-hal yang biasa dilakukan pada lockdown."
Belum ada Komentar untuk "Agar Tak Ada Interpretasi Beragam, Pembatasan Fisik Perlu Standar Operasi"
Posting Komentar